#DahlanIskan Muda
Pemuda agak ceking itu mengenakan paduan celana kain dan kaus berkerah yang menutupi sebagian kulit sawo matangnya. Tatapan mata tajam tersorot dari wajah bulatnya. Sedikit tirus, tonjolan tulang di kedua pipinya kokoh di bawah kening yang tertutup poni. Telapak kakinya hanya mengenakan sandal. Pemuda itu adalah aktivis Organisasi Pelajar Islam Indonesia. Pemuda itulah yang menarik perhatian gadis putih cantik Nafsiah Sabri, perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kertanegara yang juga aktivis perempuan di organisasi tersebut.
Dahlan muda adalah orang yang serius, idealis dan terkesan cuek dengan perempuan. Nafsiah Sabri gadis manis itu terus berusaha mencari-cari perhatian Dahlan Muda, dan akhirnya sisi kemanusiaan Dahlan Muda tidak bisa menolak kehadiran perempuan humoris, ceria dan cantik Nafsiah Sabri, merekapun menikah.
Dahlan muda yang memutuskan meninggalkan bangku kuliah, bekerja sebagai wartawan di Surat Kabar Mingguan Mimbar Masyarakat samarinda Kalimantan Timur. Pekerjaan Sebagai wartawanpun tidak lepas dari aktivitasnya sebagai aktivis kampus yang pernah dikejar-kejar meliter karena kasus Malari yaitu pengibaran bendera hitam bersama teman-temannya di Tugu Nasional persis di sebelah Kantor Pusat BNI 46 Samarinda di Jalan Pulau Sebatik sebagai bentuk perjuangan antimodal asing. ” kami ini sebagai anak muda harus menegakkan keadilan,” kata Dahlan Muda ketika ditanya tentang alasannya.
Alwy pendiri Surat Kabar Mimbar Masyarakat menyelamatkan Dahlan dari kejaran militer, salah satu pesan ALwy kepada Dahlan Muda adalah “Kalau kamu mau tetap jadi aktivis? Mau idealis? Mau mengkritik tetapi tidak akan ditangkap? Ada caranya,” kata Alwy yang lahir di Singkang, Sulawesi Selatan. “Bagaimana caranya?” Dahlan yang kadung penasaran balik bertanya. Sembari mengulas senyum, Alwy menjawab, “Ikut saya. Kamu jadi wartawan.”
Setelah menikah dengan Nafsiah Sabri, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda.Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar.
Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda –(kini presiden direktur Jawa Pos)– mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit. Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.
Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah. Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali. Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos dan akhirnya Dahlan menjadikan Jawa Pos menjadi perusahaan media terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Dahlan adalah orang yang keras dan tegas dalam mengambil keputusan, baik di perusahaan maupun dalam keluarganya. Pernah suatu ketika Nafsiah setelah pindah ke Surabaya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan. Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. “Curiganya, surat-surat penting saya hanya disembunyikan,” tuturnya.
Nafsiah Sabri adalah perempaun yang juga tegas dan bersuara lantang namun tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak hendak berangkat kerja, ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali sepatunya.” Dahlan beruntung mendapatkan istri seperti Nafsiah yang patuh, penyantun dan sangat perhatian pada suaminya.
Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memerhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan kanker yang ganas. Namun Allah SWT berkehendak lain, alhamdulillah, semuanya berjalan baik. Musibah inilah yang melecut Dahlan untuk berbuat lebih untuk sesama. Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati Nafsiah dalam mendampingi Dahlan akhirnya Dahlan bisa sukses seperti sekarang ini. Nafsiah adalah salah satu faktor sangat penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan. Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.
Dahlan adalah manusia ‘autodidak brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik. Meski sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis.
Penulis jadi teringat dibalik sukses Soeharto ada ibu Tien yang sangat mencintai dan menenangkan hati, Dibalik Kecermelangan Habibie ada Ibu Ainun yang sangat sabar dan penyayang, dibalik kegigihan Dahlan Iskan ada Ibu Nafsiah yang terus mensupor dan penuh perhatian. Laki-laki tidak akan bisa jadi apa-apa tanpa ada wanita hebat yang mendampinginya.
(Terinspirasi dari Mimbar News)
Sumber:
http:// sosok.kompasiana.com/2011/ 12/07/ dahlan-iskan-dikejar-aktivi s-perempuan/
Pemuda agak ceking itu mengenakan paduan celana kain dan kaus berkerah yang menutupi sebagian kulit sawo matangnya. Tatapan mata tajam tersorot dari wajah bulatnya. Sedikit tirus, tonjolan tulang di kedua pipinya kokoh di bawah kening yang tertutup poni. Telapak kakinya hanya mengenakan sandal. Pemuda itu adalah aktivis Organisasi Pelajar Islam Indonesia. Pemuda itulah yang menarik perhatian gadis putih cantik Nafsiah Sabri, perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kertanegara yang juga aktivis perempuan di organisasi tersebut.
Dahlan muda adalah orang yang serius, idealis dan terkesan cuek dengan perempuan. Nafsiah Sabri gadis manis itu terus berusaha mencari-cari perhatian Dahlan Muda, dan akhirnya sisi kemanusiaan Dahlan Muda tidak bisa menolak kehadiran perempuan humoris, ceria dan cantik Nafsiah Sabri, merekapun menikah.
Dahlan muda yang memutuskan meninggalkan bangku kuliah, bekerja sebagai wartawan di Surat Kabar Mingguan Mimbar Masyarakat samarinda Kalimantan Timur. Pekerjaan Sebagai wartawanpun tidak lepas dari aktivitasnya sebagai aktivis kampus yang pernah dikejar-kejar meliter karena kasus Malari yaitu pengibaran bendera hitam bersama teman-temannya di Tugu Nasional persis di sebelah Kantor Pusat BNI 46 Samarinda di Jalan Pulau Sebatik sebagai bentuk perjuangan antimodal asing. ” kami ini sebagai anak muda harus menegakkan keadilan,” kata Dahlan Muda ketika ditanya tentang alasannya.
Alwy pendiri Surat Kabar Mimbar Masyarakat menyelamatkan Dahlan dari kejaran militer, salah satu pesan ALwy kepada Dahlan Muda adalah “Kalau kamu mau tetap jadi aktivis? Mau idealis? Mau mengkritik tetapi tidak akan ditangkap? Ada caranya,” kata Alwy yang lahir di Singkang, Sulawesi Selatan. “Bagaimana caranya?” Dahlan yang kadung penasaran balik bertanya. Sembari mengulas senyum, Alwy menjawab, “Ikut saya. Kamu jadi wartawan.”
Setelah menikah dengan Nafsiah Sabri, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda.Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar.
Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda –(kini presiden direktur Jawa Pos)– mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit. Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.
Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah. Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali. Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos dan akhirnya Dahlan menjadikan Jawa Pos menjadi perusahaan media terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Dahlan adalah orang yang keras dan tegas dalam mengambil keputusan, baik di perusahaan maupun dalam keluarganya. Pernah suatu ketika Nafsiah setelah pindah ke Surabaya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan. Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. “Curiganya, surat-surat penting saya hanya disembunyikan,” tuturnya.
Nafsiah Sabri adalah perempaun yang juga tegas dan bersuara lantang namun tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak hendak berangkat kerja, ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali sepatunya.” Dahlan beruntung mendapatkan istri seperti Nafsiah yang patuh, penyantun dan sangat perhatian pada suaminya.
Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memerhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan kanker yang ganas. Namun Allah SWT berkehendak lain, alhamdulillah, semuanya berjalan baik. Musibah inilah yang melecut Dahlan untuk berbuat lebih untuk sesama. Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati Nafsiah dalam mendampingi Dahlan akhirnya Dahlan bisa sukses seperti sekarang ini. Nafsiah adalah salah satu faktor sangat penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan. Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.
Dahlan adalah manusia ‘autodidak brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik. Meski sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis.
Penulis jadi teringat dibalik sukses Soeharto ada ibu Tien yang sangat mencintai dan menenangkan hati, Dibalik Kecermelangan Habibie ada Ibu Ainun yang sangat sabar dan penyayang, dibalik kegigihan Dahlan Iskan ada Ibu Nafsiah yang terus mensupor dan penuh perhatian. Laki-laki tidak akan bisa jadi apa-apa tanpa ada wanita hebat yang mendampinginya.
(Terinspirasi dari Mimbar News)
Sumber:
http://
Tidak ada komentar:
Posting Komentar