Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (2)
Inilah tempat yang orangnya tidak saling menyalahkan. Inilah tempat yang orangnya tidak mempersoalkan Anda penganut Islam aliran yang mana. Inilah tempat yang di pintu masuknya tidak ada yang bertanya NU-kah Anda atau Muhammadiyah, Wahabikah Anda atau Ahmadiyah, Ahlussunnahkah Anda atau Syi’ah, Hisbuttahrirkah Anda atau Ikhwanulmuslimin, Jamaah Tablighkah Anda atau Islam Jamaah.
Inilah tempat yang pintunya hampir 100 buah, melebihi jumlah aliran yang ada. Inilah tempat yang halamannya seluas dada umatnya. Inilah rumah Tuhan untuk orang Islam yang mana saja dari mana saja.
Ada yang sembahyang dengan celana digulung sampai mata kaki tanpa mencela mereka yang celananya dibiarkan panjang sampai menyentuh lantai. Ada yang pakai jubah serba tertutup tanpa menghiraukan yang hanya pakai kaus lengan pendek. Ada yang sembahyang dengan pakai sarung tanpa mencela yang pakai kaus sepak bola Barcelona dengan nama Messinya atau kaus Arsenal dengan nama Fabregasnya.
Inilah masjid yang orangnya sembahyang dengan bermacam-macam gerakan tanpa ada yang merasa salah atau disalahkan. Ada yang ketika takbiratul ikram mengangkat tangan sampai menyentuh telinganya tanpa menghiraukan jamaah di sebelahnya yang tidak melakukan gerakan tangan apa-apa. Ada yang tangannya konsisten bersedekap di dada tanpa mempersoalkan orang yang tangannya begitu sering masuk ke saku jubahnya seperti mencari-cari benda yang hilang. Ada yang sambil sembahyang matanya terpejam tanpa menegur sebelahnya yang sibuk mematikan handphone-nya yang tiba-tiba berdering.
Inilah tempat yang jamaahnya tidak mempersoalkan mengapa ada yang dapat tempat sembahyang di dekat Kakbah dan ada yang hanya dapat tempat di pinggir jalan atau di tangga atau bahkan harus sembahyang di atas pagar yang lebarnya hanya setapak. Inilah tempat yang orangnya hanya konsentrasi memikirkan bagaimana agar dirinya sendiri bisa diterima menghadap Tuhannya tanpa peduli apakah Tuhan juga menerima penghadapan yang lain. Inilah tempat yang semua orangnya ingin mendapat tempat yang terdekat dengan Tuhan tanpa perlu melarang atau menyingkirkan atau membunuh orang lain yang juga menginginkan posisi yang terdekat dengan Tuhan. Inilah tempat sembahyang muslim yang bersujud di aspal sama nikmatnya dengan bersujud di permadani tebal.
Inilah tempat yang orangnya tidak mempermasalahkan apakah tempat sembahyang bagi wanita harus disembunyikan di balik dinding atau di balik tabir. Ada yang sembahyang berkelompok sesama wanita dengan pembatas kain rendah tanpa menyalahkan wanita yang sembahyangnya tercampur dengan pria. Ada tempat sembahyang khusus laki-laki tanpa menganggap tidak sah beberapa laki-laki yang sembahyang di tengah-tengah jamaah wanita, bahkan dengan posisi berdempetan dengan wanita di sebelahnya itu.
Inilah tempat yang membuat saya termenung lama mengapa jutaan manusia yang datang ke tempat ini tidak mempersoalkan aliran orang lain sebagaimana kalau mereka berada di tempat asal mereka. Mungkinkah karena begitu egoisnya mereka yang datang? Mungkinkah begitu individualistisnya mereka yang ke tanah haram? Mungkinkah muncul kesadaran bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang memutuskan siapa yang berhak dekat dengan-Nya dari mana pun alirannya?
Inilah tempat yang membuat saya tertegun sejenak: mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa dominan sebagai mayoritas? Mungkinkah perasaan kehilangan dominasi mayoritas itu yang menyebabkan segala yang minoritas harus disingkirkan? Mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa menjadi tuan rumah sehingga semua orang adalah tamu?
Inilah tempat yang membuat saya berpikir: begitu indahnyakah keberagaman yang seimbang itu?
Inilah tempat yang membuat saya ingat begitu kerasnya persaingan dunia usaha: mungkinkah kedamaian di tempat ini karena masing-masing aliran tidak sedang me-marketing-kan aliran masing-masing? Mungkinkah marketing aliran itu yang membuat terjadinya perebutan pasar sehingga yang minoritas merasa harus meningkatkan market share-nya dan sang market leader mati-matian melawan setiap penggerogotan pasarnya?
Wallahualam. Tuhan bukan pasar dan tidak akan memedulikan posisi pasar.
Sebagai orang yang sejak kecil berada di lingkungan ahlussunah dan dilatih praktik ibadah ahlussunah dengan gerakan sembahyang yang begitu tertib (sampai posisi jempol kaki saat duduk takhiyat akhir pun dibetulkan dengan keras) di tempat ini ternyata saya juga bukan lagi mayoritas.
Inilah tempat yang membuat saya paham bahwa mayoritas atau minoritas itu ternyata nisbi. Sepenuhnya bergantung pada tempat dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar