Rabu, 07 Desember 2011

Dahlan Iskan dan Azrul Ananda: Keteladanan yang Mengalir Sampai Jauh

Thursday, June 10th, 2010
oleh : Henni T. Soelaeman

Dahlan Iskan membangun kerajaan bisnis Jawa Pos dengan kerja keras luar biasa. Bahkan, beberapa kalangan menilai Grup Jawa Pos menggurita karena sikap one man show Dahlan. Toh, kalangan dekatnya justru mengaku banyak melihat keteladanan yang begitu nyata diperlihatkan Dahlan dalam keseharian. Apa saja itu?
Dahlan Iskan sudah lama tak berkantor di Graha Pena, Surabaya. Namun, semangat, disiplin, kerja keras, kesederhanaan yang dimiliki Dahlan tertancap kuat di seantero kantor Jawa Pos yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Jejak keberhasilan Dahlan bukan saja terukir dari pencapaian Jawa Pos yang menjelma menjadi konglomerasi bisnis media dengan sekitar 120 media cetak dan 20-an stasiun televisi lokal yang terserak di berbagai wilayah Nusantara, 40 jaringan percetakan, pabrik kertas, power plant, perminyakan, agrisbisnis, dan properti. Dahlan juga mewariskan sebuah keteladanan. Teladan tentang kesederhanaan, kerja keras, dan logika akal sehat sehingga melahirkan budaya bersikap, budaya berpikir, budaya bekerja pada segenap awak Grup Jawa Pos (GJP) sehingga grup usaha ini terbang sangat tinggi.
Di bawah kendali peraih penghargaan Enterpreneur of the Year 2001 dari Ernst & Young yang dilahirkan di Magetan 17 Juli 1951 ini, gurita bisnis GJP merentang seantero Nusantara. Aset GJP ditaksir mencapai triliunan rupiah dengan omset sekitar Rp 2 triliun.
Keberhasilan Dahlan dinilai banyak kalangan karena memiliki keberanian mengambil risiko yang terukur dan kerja keras, serta kepiawaian membaca peluang. Dan, Dahlan konsisten dengan sikapnya. Kini, sebagai komandan PLN, di minggu pertama berkantor di Trunojoyo, ia sudah langsung memperlihatkan taringnya dengan mengganti sumber energi primer dan menyediakan trafo cadangan untuk keperluan distribusi listrik sebagai upaya menghemat beban subsidi sebesar Rp 5 triliun tiap tahun. Ia juga memangkas jalur birokrasi dan membenahi struktur organisasi. Dan, seperti juga di Jawa Pos, ia selalu memberi teladan disiplin waktu dan kesederhanaan. Pukul 6.45 ia sudah tiba di kantor. Rapat direksi pun diubah menjadi pukul 7.00. Ia juga biasa makan di kantin karyawan dan seminggu sekali suntik imunisasi hepatitis B di Poliklinik PLN.
Tak ada yang berubah dari seorang Dahlan. Yang berubah hanya penampilannya. Dulu, sebagai CEO GJP ia kerap terlihat berkemeja panjang gombrong dengan sepatu kets membungkus kakinya. Kini, ia lebih terlihat perlente dengan setelan jas. Bagaimana ia mewariskan wisdom strategi bisnisnya sehingga GJP tetap melaju kencang meski ayah Azrul Ananda dan Isna Fitriana ini tak lagi ikut cawe-cawe? Berikut petikan wawancara SWA dengan Dahlan Iskan:
Bagaimana perasaan Anda meninggalkan Jawa Pos?
Sekarang, posisi saya Chairman Grup Jawa Pos. Benang merah yang harus dipahami oleh seluruh pemimpin di Grup Jawa Pos adalah harus percaya bahwa di setiap zaman itu punya generasinya tersendiri, dan setiap generasi itu punya zamannya tersendiri. Nah, agar bisa lintas generasi alias bisa diterima di setiap generasi, pahamilah hal tersebut lebih dulu dengan sikap mau menerima, berpikiran terbuka, dan fleksibel. Kalau tidak paham akan hal tersebut, jangan coba-coba bisa menjadi pemimpin. Jadi, pahamilah setiap zaman itu pasti ada bedanya dan pelakunya. Jangan pernah ngotot untuk bisa terus memimpin di zaman yang sudah bukan zamannya lagi. Sesungguhnya, itu sama saja omong kosong. Saya saja menyadari kalau sudah bukan zaman saya lagi memimpin dengan tipikal dan cara saya di zaman sekarang. Sudah saatnya alih generasi. Saya legowo akan hal ini.
Sekarang Azrul ikut di Jawa Pos. Pendapat Anda?
Ya, begitulah.
Azrul jadi pemimpin Grup Jawa Pos?
Hmmm… sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita dan menginginkan Azrul bergabung dan bahkan menjadi pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya lebih senang dia menjadi profesional atau menjadi sesuatu yang dia inginkan. Saya tidak mau dia menderita seperti saya. Apa sih kayanya jadi wartawan itu? Makanya, sejak lulus SMP, dia saya sekolahkan ke Amerika Serikat supaya jauh dari “bau tinta”. Di AS kan dia lebih punya banyak pilihan. Saya menyadari sepenuhnya sejak dini kalau saya memang tidak mau menyiapkan Azrul sebagai pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya tidak mau dikecam dan anak saya dikecam karena tindakan nepotisme itu.
Namun, akhirnya Azrul masuk juga di Jawa Pos …
Sepulang dia dari Kansas, AS, tahun 1999, sebagai master international marketing, dia datang kepada saya meminta bekerja di koran Jawa Pos. Saat itu saya masih menjadi Dirut Jawa Pos. Saya jawab saja, gak mungkin kamu bisa kerja di sini. Azrul heran dengan pernyataan saya itu, lalu dia membalas pernyataan saya kalau dia tidak dibolehkan kerja di Jawa Pos, dia akan bekerja di Kompas. Waduh bingung kan saya dan saya merasa dipojokkan dengan pernyataan Azrul yang mau kerja di Kompas kalau tidak diizinkan bergabung dengan Jawa Pos. Saya berada di posisi sulit. Paling sulit dalam kehidupan saya. Saya diskusikan dengan kawan-kawan petinggi Jawa Pos. Saya tahu hal ini bertentangan dengan hati nurani saya, dan melanggar prinsip manajemen.
Bagi saya, sangat sulit memutuskan menerima Azrul bekerja di Jawa Pos. Saya tahu saya sudah berupaya menjauhkan Azrul sedemikian rupa dari bau tinta Jawa Pos, tapi kalau ternyata dia masih mau dan memilih untuk dekat dengan bau tintanya Jawa Pos, saya anggap itu sudah takdir Azrul. Bahwa akhirnya dia ada di Jawa Pos, ya takdir Azrul. Sampai-sampai saya membujuk dia untuk bergabung di JTV saja dulu, biarpun bukan koran Jawa Pos, kan masih Grup Jawa Pos. Tapi dia tetap tidak mau dan tetap ingin masuk di koran Jawa Pos. Akhirnya, ya iyalah, daripada di Kompas karena gak enak kan, masa kerja di kompetitor. Apalagi Azrul sangat optimistis dan percaya diri kalau dia bisa diterima di Kompas dengan background pendidikan formal dan pengalaman jurnalistiknya di koran orang tua angkatnya waktu tinggal di Kansas. Dia pun sering menjadi koresponden luar negeri Jawa Pos. Saat itu, memang dia diizinkan menjadi koresponden Jawa Pos karena tidak ada ikatan karyawan.
Bagaimana prosesnya?
Azrul memulai sebagai wartawan. Ketika diterima bekerja di Jawa Pos, dia juga harus menjadi reporter lebih dulu biarpun dia pernah menjadi koresponden Jawa Pos selama tiga tahun. Selama setahun, dia menjadi reporter dan ditempatkan di Surabaya. Kemudian menjadi redaktur untuk desk olah raga setahun, redaktur desk kota setahun, lalu redaktur anak muda satu tahun, terus redaktur halaman 1 satu tahun. Setelah proses itu baru deh dia menjadi pemred selama dua tahun. Jadi, kata siapa dia dengan mudahnya begitu saja diterima jadi wartawan Jawa Pos. Apalagi dia juga mendapat penilaian yang sama seperti wartawan Jawa Pos lainnya karena ada sistem penilaian yang harus dipatuhi.
Bagaimana meminimalkan kesan nepotisme?
Apa yang saya lakukan untuk meminimalkan kesan nepotisme antara saya dengan anak saya? Pertama, ya Azrul harus mau memulainya lagi dari posisi terbawah meski dia punya pengalaman jurnalistik di tempat lain. Kedua, dia juga punya nilai lebih baik dari kawan-kawan selevelnya bahkan dari kawan-kawan di Jawa Pos. Dan, dia dinilai oleh sekelilingnya. Kalau rata-rata orang terbaik saya di Jawa Pos itu nilainya 7,5, nilai Azrul harus lebih dari 7,5 itu. Misalnya hasil penilaian Azrul itu juga 7,5 atau 8, maka saya tidak akan memilih Azrul. Saya lebih baik memilih karyawan Jawa Pos yang bukan anak saya yang punya nilai sama dengan Azrul untuk menjadi pemimpin. Artinya, Azrul harus bisa menunjukkan kemampuan yang lebih dari rata-rata nilai karyawan-karyawan terbaik saya.
Bagaimana proses penilaiannya?
Untuk menilai prestasi seseorang di koran kan mudah. Ketika dia jadi reporter, berita-berita hebat seperti apa yang sudah dia berhasil cover dan tembus. Kemudian, ketika dia menjadi redaktur, dilihat bagaimana isi halaman desk yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika dia jadi redaktur pun, akan terlihat bagaimana relationship-nya dengan wartawan lain di Jawa Pos dan dengan wartawan dari media-media lain. Berita-beritanya berbobot dan netral atau tidak. Apalagi ketika dia menjadi pemred, termasuk terobosan-terobosan yang bisa dia lakukan yang akhirnya berujung pada peningkatan penjualan atau tiras dan pendapatan di samping konten koran itu sendiri.
Akhirnya Anda memutuskan Azrul menjadi pengganti Anda?
Saya memutuskannya menjadi pemred ketika Azrul membuat terobosan-terobosan seperti dia melahirkan konsep DetEksi yang berpengaruh pada peningkatan tiras, citra, dan penjualan Jawa Pos. Dia punya ide kreatif dan berhasil diwujudkannya. Ketika dia menjadi redaktur kota, dia berhasil mengubah tampilan halaman desk kota menjadi sangat metropolis sehingga Jawa Pos semakin dikenal bukan hanya sebagai koran lokal dari Surabaya. Ketika dia menjadi redaktur olah raga, dia melahirkan konsep sportivo. Ketika dia menjadi redaktur halaman 1 dan saat itu ada bom Bali, dia berhasil membuat liputan yang deep mengulas tentang bom Bali. Dan, pastinya, keberhasilan Azrul itu bukan hanya prestasi Azrul karena dia punya tim biarpun ide itu berasal dari dia. Ketika Azrul ditetapkan menjadi Pemimpin Umum setara Dirut Jawa Pos, Azrul dua poin lebih unggul dari kandidat yang lain. Jadi, bukan semata-mata dia anak saya. Toh, Azrul pun saat menjadi dirut pernah saya pecat.
Mengapa?
Sebetulnya, pemecatan Azrul itu tidak terkait dengan pekerjaan dan posisi Azrul di Jawa Pos. Ada urusan pribadi, yang tidak ada hubungannya dengan Grup Jawa Pos sama sekali, Azrul saya berhentikan sementara. Kalau dia orang lain, mungkin tidak akan diberhentikan karena masalah itu baru hanya rumor belaka. Nah, karena Azrul anak saya, saya putuskan untuk diberhentikan sampai penyelidikan atas kebenaran rumor tersebut. Ternyata setelah penyelidikan yang berlangsung 6 bulan, itu hanya rumor, dan kawan-kawan di Jawa Pos meminta Azrul kembali. Saya perhatikan selama 6 bulan nganggur dari Jawa Pos itu, Azrul tidak bersikap negatif. Dia tetap meliput dan menulis serta mengirimkan tulisannya dari luar kantor Jawa Pos. Dia tidak berkantor selama penyelidikan berlangsung. Kan bisa saja dia ngambek, namanya anak muda, wong gak salah kok, cuma rumor, dia diberhentikan. Dia bisa saja menuntut hal tersebut pada saya. Tapi, sepertinya dia gak beban dalam menghadapi cobaan itu.
Hikmah saya berobat, saya bisa lebih rileks dan perusahaan baik-baik saja. Sakitnya saya juga yang membuat saya berpikir untuk melepaskan semua jabatan saya.
Ketika Azrul menjadi Kepala Pemasaran dan Produksi, sistem pemasaran dan produksi koran jadi lebih sistematis. Dengan kata lain, Azrul jauh lebih sistematis, efisien dan efekif. Dan, saya rasa memang sudah saatnya Grup Jawa Pos itu berubah, dari yang awalnya di masa saya yang bisa disebut kelompok perintis itu banyak menggunakan pendekatan personal. Nah, di zaman Azrul dan anak-anak yang lebih muda lagi, Grup Jawa Pos sudah mulai dikelola dengan sistem yang rapi, tertib, tertulis, dan akuntabel. Ya kalau kata orang pintar, lebih GCG-lah (Good Corporate Governance – Red.) dan lebih terstruktur. Tapi, sifat egaliternya dan sederhana dalam berpakaian yang kasual itu juga nurun dari saya, padahal saya tidak pernah mengajarinya begitu.
Apa harapan Anda pada kepemimpinan Azrul?
Kelebihan Grup Jawa Pos di bawah kepemimpinan yang sekarang, kalau saya perhatikan, lebih sistematis dan metodologis. Azrul berada di dalam era kepemimpinan yang sekarang. Nah, yang saya harapkan dari Azrul itu lebih memahami perhitungan akuntasi keuangan perusahaan dengan cara belajar lagi.
Bagaimana dengan putri Anda, mengapa tidak bergabung?
Anak saya yang lain yang bernama Isna itu memang benar-benar tidak bergabung dalam bisnis keluarga. Isna punya perusahaan sendiri, butik atau toko pakaian. Kalau tidak salah ada tiga butik. Dia juga punya bisnis penyewaan peralatan musik dan sound system. Isna sih boro-boro punya passion bergabung dengan Grup Jawa Pos.
Bagaimana Anda mendidik putra-putri Anda, dalam kehidupan ataupun bisnis?
Saya tidak pernah menasihati anak-anak secara langsung. Tidak pernah mengarahkan mereka harus seperti apa. Tidak. Saya biarkan mereka berpikir dan berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Sepanjang hidup saya sampai sekarang, saya hanya bicara dua kali tentang wisdom pada anak saya. Itu pun saya sampaikan dengan bercerita.
Pada kesempatan pertama, saya ceritakan pada mereka tentang Surabaya Post. Ini koran sangat besar pada masa itu. Bahkan Jawa Pos tidak ada apa-apanya. Saya bilang kerajaan ini runtuh karena tidak ada yang mau melanjutkan. Anaknya yang pertama, Iwan Jaya Aziz, terlalu pandai. Tiap kali disuruh pulang selalu menolak, karena di kampusnya pangkat dia selalu naik. Dia juga menjadi tokoh ekonomi yang besar. Anaknya yang kedua di Jakarta, menjadi psikolog. Sementara anaknya yang ketiga tukang menghabiskan uang. Kerajaan Surabaya Post runtuh karena tidak ada yang melanjutkan.
Saya menyampaikan ini bukan bermaksud memengaruhi mereka. Biar saja mereka yang memutuskan. Tetapi saya mau menunjukkan kalau ada kasus seperti ini.
Lalu, saat anak saya lulus dari SMA di Kansas, AS. Waktu itu saya undang mereka berdua untuk makan malam sangat spesial. Saya katakan kalau saya mau berterima kasih kepada mereka. Saya katakan kepada mereka, saya undang Anda makan karena ingin berterima kasih. Karena, selama ini Anda tidak merepotkan saya. Seandainya Anda terlibat narkoba, tentu saya harus berurusan dengan polisi. Saya juga tidak bisa bekerja. Kalau Anda terjerat narkoba mungkin saya juga akan “habis”. Kedua, Anda tidak menghamili anak orang. Tidak menyakiti cewek lain. Saya katakan seperti itu kepada anak-anak saya. Saya ingin dengan bercerita, tidak secara langsung mengarahkan anak-anak. Mereka juga akan merasa kalau apa yang mereka lakukan selalu saya perhatikan.
Bagaimana Anda melihat kehidupan?
Saya melihat orang tua saya bekerja terlalu keras. Jadi mungkin secara tidak sadar saya melihat orang hidup ya seperti itu. Misalnya, bapak saya habis sembahyang Subuh terus ke pekarangan. Jam 7 dia berangkat menjadi tukang kayu. Lalu pulang sembahyang Dzuhur, ke pekarangan lagi. Selanjutnya kembali nukang kayu. Dan setelah sembahyang Isya, dia ke pekarangan orang lain untuk menjaga air dan sebagainya. Nah, secara tidak sadar saya menilai bapak bekerja terlalu keras. Dan ini menginspirasi saya dalam menjalani kehidupan. Saya percaya pada hidup. Itu saya istilahkan sunatullah, bahwa orang mau dapat itu harus kerja. Kalau mau sukses harus kerja keras.
Seberapa sering Anda gagal?
Pertanyaan menarik. Karena saya lebih senang bicara soal kegagalan. Sebab orang kalau sudah sukses, ngomong apa saja enak. Sebenarnya ini tidak fair. Saya sering diminta mengisi seminar untuk berbicara sukses saya. Saya merasa tidak begitu-begitu juga. Karena, saya mengalami kegagalan juga banyak banget. Tapi saya tidak pernah diundang seminar dengan topik kisah-kisah kegagalan Dahlan Iskan.
Padahal, kegagalan saya banyak sekali. Misalnya, provider Internet. Saat belum banyak orang masuk Internet, saya masuk duluan. Karena terlalu dini kami masuk ke bisnis itu, ya kami gagal. Koran ada juga beberapa yang gagal. Real estate, saya gagal. Kemudian masuk ke hotel, saya gagal. Properti saya gagal. Saya kira kalau Rp 5 miliar saja kegagalan saya itu ada. Tetapi karena banyak yang berhasil, orang lantas menilai Dahlan Iskan itu orang yang bertangan dingin. Apa saja yang dia pegang pasti jadi. Itu sama sekali tidak betul.
Tip supaya sukses dalam berbisnis?
Ketika memulai bisnis, ketika mau memulai harus tahu apa escape yang harus dilakukan kalau menghadapi masalah yang berbahaya. Misalnya, rugi Rp 10 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp 15 miliar. Rugi Rp 15 miliar harus lebih baik ketimbang rugi Rp 20 miliar. Itu harus menjadi pegangan. Nah, ketika sudah rugi-rugi-rugi dan sesudah dianalisis investasinya ini akan rugi terus, ya berhenti.
Banyak orang yang tidak berani berhenti. Wah, kita kan sudah rugi Rp 10 miliar. Kenapa harus berhenti? Ah, tidak boleh seperti itu. Kalau memang diperkirakan tidak tertangani harus berhenti. Jangan bilang, sayang kan sudah habis Rp 10 miliar. Harus berani bilang, mumpung masih Rp 10 miliar, harus berhenti.
Kalau mau sukses, harus jalani apa yang ada. Mulai dari kecil, sekarang, jangan nunggu nanti-nanti. Fokus. Jangan berpikir ingin cepat besar. Yang penting tekuni dahulu sampai batas waktu tertentu, baru mengembangkan diri.
Nilai-nilai bisnis apa yang Anda pegang?
Banyak orang salah sangka memandang Dahlan Iskan. Orang berpikir kalau saya punya grand plan. Menurut saya tidak. Saya ini benar-benar seperti air yang mengalir, tetapi kalau bisa yang deras. Jangan air yang mengalir tapi biasa saja. Karena apa? Saya pikir saya ini tidak punya cita-cita. Hahahaha…. Tapi setelah saya rasa-rasakan, beruntung juga tidak punya cita-cita. Hehe… Kenapa? Karena tidak terlalu mempertaruhkan segala sesuatu untuk mewujudkan cita-cita itu.
Orang yang tidak punya cita-cita lebih fleksibel. Bayangkan misalnya saya harus sampai di sana, dan itu harus tercapai. Lalu di depan sana tiba-tiba ada dinding. Kalau orang yang punya cita-cita keras, dia akan tabrak dinding itu. Iya kalau dindingnya kalah. Lha kalau dindingnya terlalu kuat? Mati dia.
Tapi kalau orang yang gak punya cita-cita, bilang wah di depan ada dinding. Ya belok aja. Misalnya di sana ada batu, ya belok aja. Jadi saya merasa tidak punya cita-cita itu ya bagus juga. Hahahaa…. Ini saya serius. Tidak mengada-ada.
Cita-cita tertinggi Anda, apa?
Hahahaha… Cita-cita tertinggi saya cuma satu: pengen punya sepeda! Itu saja. Bahwa sekarang punya helikopter, punya Jaguar, punya Mercy itu sama sekali di luar cita-cita saya. Cita-cita saya cuma punya sepeda. Kenapa? Karena saya anaknya buruh tani. Saya tidak boleh latihan naik sepeda. Berarti saya harus meminjam sepeda teman. Bapak saya bilang, “Kalau nanti sepedanya rusak, bagaimana cara menggantinya?” Jadi sampai saya tamat SMA, saya belum punya sepeda. Saya sekolah jalan kaki pergi-pulang 12 km. Teman saya yang punya sepeda tidak pernah mau memboncengkan saya. Katanya, orang yang tidak bisa naik sepeda lebih berat kalau diboncengkan.
Keinginan Anda yang belum tercapai?
Saya sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi. Karena sejak saya sakit, kemudian perusahaan ditangani oleh anak saya. Dan selama saya tinggal tetap berkembang, berarti ya sudah boleh ditinggal. Sebelum saya dioperasi, saya kan membeli dua helikopter. Karena perasaan saya, setelah sembuh pasti tidak bisa ke mana-mana. Jadi bisa naik helikopter. Tapi ternyata setelah operasi saya seperti begini. Ya akhirnya helikopter itu nganggur. Makanya ketika saya dipanggil Presiden untuk menjadi Dirut PLN, ya sudahlah, ada kesibukan baru.
Nilai dalam kehidupan yang Anda pegang?
Saya percaya takdir. Tetapi takdir yang diusahakan. Jadi saya tidak percaya takdir begitu saja. Misalnya begini. Ada seorang wartawan foto Jawa Pos yang jadi juara foto internasional. Foto itu tentang tergulingnya truk suporter sepak bola. Orang-orang bilang, “Itu kebetulan karena si fotografer ada di situ, terus motret.” Nah saya tidak setuju dengan omongan seperti itu. Memang kebetulan dia ada di situ. Tapi seandainya hari itu si wartawan ada di kantor, atau males-malesan di rumah, apa ya dia dapat momen itu? Dia dapat foto terbaik dunia itu karena dia rajin.
Siapa tokoh idola Anda?
Saya senang Eka Tjipta Widjaja. Dia pernah bangkrut tiga kali. Bangkrut habis-habisan dan selalu bisa bangkit dengan hebat. Sebelum saya sakit, saya nanya ke beliau, “Pak Eka, Anda kebayang nggak akan bangkrut?” Lalu dia bilang, “Dik Dahlan, saya ini sudah dalam posisi tidak mungkin bangkrut. Saya sudah terlalu besar untuk bangkrut.”
Saya juga senang Ciputra karena menjalankan prinsip bisnis yang fair. Moralitas bisnis beliau juga sangat tinggi. Saya salut sekali dengan Pak Ciputra. Lalu, kerendahan Anthony Salim juga membuat saya kagum. Ketiga tokoh ini mungkin yang banyak menginspirasi perjalanan hidup dan bisnis saya.
BOKS:
Azrul Ananda:
Di Luar Jawa Pos,
Mungkin Lebih Enak
Perjalanan Azrul Ananda yang akrab disapa Ulik ini di GJP tak berarti mulus karena ia anak Dahlan Iskan. Apalagi, sejak awal Dahlan tak ingin putra semata wayangnya mengikuti jejaknya sebagai kuli tinta. Dahlan juga tak pernah berpikir mewariskan kerajaan bisnis GJP kepada anak sulungnya itu. Namun, bagi Ulik, GJP adalah muaranya untuk beraktualisasi.
Maka, Ulik pun rela mengikuti aturan main yang diterapkan sang ayah. Ia rela memulai karier di GJP dari posisi bawah. Ia juga menjawab tantangan Dahlan yang mensyaratkan nilai 9 baginya dengan kerja keras, kreativitas, dan inovasi untuk melahirkan produk yang membuat Jawa Pos makin moncer. Dari tangan alumni California State University jurusan pemasaran yang lulus cum laude ini lahir halaman DetEksi, seksi khusus anak muda yang dalam tempo singkat menjadi andalan Jawa Pos sampai sekarang. Kelahiran Samarinda tahun 1977 ini pun membuktikan kehebatannya yang lain. Saat menjadi Pemred Jawa Pos, koran itu berlari makin kencang dan kerap diganjar berbagai penghargaan, antara lain Cakram Award (Newspaper of the Year) 2005.
Berikut petikan SWA dengan Azrul Ananda yang kini COO Jawa Pos.
Apa saja nilai-nilai dalam bisnis dan kehidupan yang Anda pelajari dari ayahanda?
Abah, (begitu Azrul memanggil Dahlan Iskan) dari dulu selalu mengajari saya: bekerja, dan bekerja secara fokus dan serius tanpa terlalu memikirkan apa yang akan didapat. Jangan terlalu perhitungan. Katanya, kalau kita kerja keras dan fokus, hasil baik akan datang dengan sendirinya. Sejauh ini, semua itu menjadi kenyataan.
Bagaimana Anda mengimplementasi nilai-nilai itu dalam aktivitas bisnis dan kehidupan? Adakah nilai yang direaktualisasi – disesuaikan dengan kondisi masa kini?
Dari dulu, apa pun yang saya lakukan, selalu dilakukan dengan serius. Kalau pun gagal, prosesnya selalu serius. Paling tidak, ada pelajaran yang selalu kita dapat dengan menjalani proses secara serius. Bedanya cara dia dengan saya sekarang? Hmmm, sekarang lebih sulit dan kompetitif, jadi kerjaan saya pasti lebih susah dari dia dulu. Hahahaha. Tidaklah, dulu dan sekarang sama sulit, tapi sulitnya beda.
Adakah perbedaan chemistry dalam memandang nilai-nilai itu antara Anda dengan ayah Anda?
Saya tidak persis dengan Abah. Dia punya satu cara, saya mungkin cara lain. Kadang kami pun berantem teriak-teriakan. Hahahaha. Tapi hebatnya Abah, dia selalu memberi saya kebebasan dalam berbuat. Kalau pun saya salah, dia akan membiarkan saya membuat kesalahan. Toh akhirnya akan belajar juga hahaha.
Dalam pandangan Anda, apa saja kehebatan yang dimiliki Pak Dahlan sebagai ayah sekaligus entrepreneur?
Dia itu orangnya serius dan konsekuen. Kalau mau sesuatu, akan diusahakan sampai dapat. Tapi dengan cara yang benar. Tidak dengan jalan pintas. Kalau harus bersusah payah naik gunung, ya akan bersusah payah naik gunung. Tidak buru-buru cari helikopter biar gampang. Memang cara-caranya kadang lebih susah, tapi jangka panjangnya akan lebih baik.
Bagaimana Anda dididik oleh ayah Anda? Apa yang diinginkan ayah Anda terhadap anak-anaknya?
Entahlah. Hahaha. Kayaknya dia dulu nggak pengen saya masuk koran. Tapi akhirnya kecemplung juga di dunia media. Yang jelas, dia ingin kami sukses dengan kerja keras, bukan dengan cara karbitan. Dia selalu mengingatkan, kalau nilai saya 7 maka lebih baik memakai orang lain. Kalau nilai saya 8, dan ada orang lain nilainya 7 maka lebih baik pakai orang lain. Jadi, mau tidak mau saya harus menang jauh dari yang lain, harus punya nilai 9 atau 10. Karena kalau saya biasa-biasa saja, orang akan menilai saya sukses karena ayah saya.
Kenapa Anda punya passion yang tinggi terhadap olah raga basket?
Sebenarnya olah raga favorit saya bukan basket. Saya ini pemain bola, dan olah raga terbaik saya bulu tangkis. Saya dulu tergabung dengan klub Djarum selama tiga tahun, waktu SD sampai SMP. Tapi ketika jadi siswa pertukaran di Ellinwood High School di Kansas tahun 1993-1994, saya ikut koran sekolah dan jadi fotografer tim basket. Dari situ belajar sistem basket SMA di Amerika. Sejak saat itu mulai perhatian pada basket. Belum penggemar, tapi mulai mengikuti.
Keterlibatan di basket juga tidak direncanakan. Pada 2004, untuk menambah aktivitas anak muda di bawah bendera DetEksi Jawa Pos (halaman khusus anak muda), kami spontan bikin kompetisi basket SMA di Surabaya. Ternyata langsung meledak. Terus berkembang, dan kemudian berkembang jadi Development Basketball League (DBL) yang sekarang.
Mengapa meledak? Mungkin karena konsepnya disukai ya. Kami menerapkan konsep student athlete, kalau tidak naik kelas tidak boleh ikut. Sekolah dan orang tua suka itu. Lalu kami juga ketat menerapkan aturan-aturan di lapangan, jadi pemain dan penonton merasa lebih spesial. Juga tidak menerima sponsor rokok, minuman berenergi, dan minuman beralkohol. Kami konsekuen hingga sekarang.
Untuk kompetisi bola basket pelajar tahun lalu, berapa banyak peserta dan penontonnya? Tahun ini, apa targetnya?
Honda DBL 2010 ini diselenggarakan di 21 kota, di 18 provinsi. Mulai Aceh sampai Papua, kecuali Jakarta. Kami berhasil membuktikan bahwa kompetisi terbesar di Indonesia tidak harus di Jakarta. Total tim peserta hampir 1.200 tim SMP dan SMA, dengan jumlah pemain dan official hampir 25 ribu orang. Besar sekali ya! Simulasi kami, seharusnya jumlah penonton mencapai 500 ribu orang. Tercapai kira-kira awal Agustus 2010 nanti. Kalau terwujud, Honda DBL 2010 adalah kompetisi olah raga terbesar kedua di Indonesia, setelah liga sepak bola nasional. Hebat ya?
Targetnya sekarang, mengejar 500 ribu penonton itu. Seharusnya bisa. Dan ingat, pertandingan kami bukan tontonan gratis. Kami dari awal mengajarkan penonton untuk apresiasi dan membayar. Target ke depan, terus mengembangkan konsep student athlete kami ke seluruh provinsi di Indonesia.
Apa dream Anda terhadap olah raga basket di Indonesia? Akan Anda jadikan seperti apa DBL dalam 5-10 tahun ke depan?
Terus terang, kami tak pernah membayangkan DBL menjadi sebesar ini. Saking besarnya, sejak 2009 kami harus mendirikan perusahaan sendiri untuk mengelola DBL secara full time. Namanya PT Deteksi Basket Lintas Indonesia (DBL Indonesia) karena untuk menjaga dan mengembangkan, butuh tim yang bekerja full time. Sekarang karyawan DBL Indonesia sudah lebih dari 50 orang.
Bukan hanya mengelola liga pelajar DBL, mulai tahun ini DBL Indonesia juga dipercaya mengelola liga basket profesional tertinggi di Indonesia, yaitu Indonesian Basketball League (IBL). Pada 25 Mei 2010, liga itu kami rebranding menjadi National Basketball League (NBL) Indonesia. Semoga jadi seheboh DBL.
Dalam 5-10 tahun ke depan, semoga DBL bisa merambah seluruh Indonesia. Menyelenggarakan kompetisi basket dengan standar tertinggi di Indonesia. Selain itu, juga terus membina kerja sama internasional. Gunanya untuk meningkatkan hubungan people-to-people antara anak muda Indonesia dengan mancanegara. Sekarang kami sudah menjalin itu dengan Amerika Serikat dan Australia. Untuk mencapai itu, DBL harus tumbuh secara berkelanjutan. Tidak boleh terlalu tergantung pada sponsor.
Ke depan, revenue sponsor maksimum hanya boleh 65%. Sisanya harus dari tiket penonton, merchandising, licensing, dan lain-lain. Kami sedang merintis itu sekarang. Merchandise DBL sudah bisa didapat di mal-mal di Indonesia, termasuk di Jakarta. Buku tulis sekolah DBL pun sekarang sudah dijual di mana-mana. Jangan lupa pula, semakin besar DBL dan NBL, semakin besar pula dampaknya untuk media-media di bawah Grup Jawa Pos.
Anda sepertinya menikmati sekali di Jawa Pos?
Saya sebenarnya tidak perlu ada di Jawa Pos untuk hidup enak. Di luar Jawa Pos mungkin lebih enak. Tidak capek, tetap dapat bagian banyak dari orang tua. Bahkan lebih banyak dari kebanyakan karyawan. Karena itulah, ketika benar-benar di Jawa Pos, saya harus sadar kalau saya punya tanggung jawab sangat besar. Tidak boleh main-main. Saya nyaris tak pernah libur. Dari pagi sampai malam saya di kantor. Meski kadang juga hanya bengong doang hahaha.
Reportase: Sigit A. Nugroho dan Tutut Handayani
Riset: Siti Sumariyati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar